Minggu, 29 April 2012

perkembangan tari sudati


Perkembangan Tari Seudati Tidak diketahui secara pasti tahun berapa perkembangan dimulai. Di Pidie, Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke Desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Namun, yang sangat terkenal adalah almarhum Syeh Lah Bangguna dari Meureudu, Pidie Jaya. Di Bireuen seudati muncul di daerah pesisir seperti Lancok dan Kuala Raja. Di daerah tanah kelahiran Syehlah Geunta ini di Medio 80-an sampai tahun 90-an sangat sering diadakan Seudati tunang baik di pasar atau di tempat-tempat terbuka lain.
Di Aceh Utara pada tahun 80-an kita sangat mengenal Syeh Nek Rasyid dari Blang Lancang, di Krueng Mane ada Syeh Kop (M.Yacob) dari Gampong Paloh Raya (almarhum), juga Syeh Lah Baroena (almarhum), Syeh Hasmuni  dan lain-lain yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Di Krueng Geukueh masyarakat sangat mengenal Syeh Manyak (saat ini dalam kondisi sakit). Setiap waktu tunang digelar, kecuali saat maulid dan Ramadhan yang sangat sepi dari event. Begitu juga di daerah lain di Aceh Utara bagian tengah dan timur seperti Geudong, Alue Ie Puteeh, dan Panton Labu, dimana tarian ini sangat digemari dan setiap mukim dan gampong ada grup dan syeikhnya tersendiri yang dibiayai sendiri oleh masyarakatnya. Di Aceh Timur ada Syeh Din Misee Teumaga dari Idi, di Langsa ada Syeh Yoldi Prima yang juga penyanyi Aceh yang sempat menelurkan beberapa Album Aceh.
Pada masa konflik seudati sangat jarang dipertunjukkan di muka umum atau lapangan terbuka. Bisa dikatakan hampir tak ada event kecuali pada  17 Agustus yang diadakan di Ibu Kota Kecamatan. Itu pun diprakarsai oleh Muspika. Pada masa ini juga bisa kita katakan masa-masa suram untuk perkembangan seudati di negeri sendiri. Setelah perdamaian, praktis hampir tak ada pembinaan dari pemerintah terhadap grup-grup seudati yang tumbuh di gampong-gampong. Mereka hanya menunggu event besar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) setiap lima tahun sekali. Itu pun sangat tergantung siapa yang berkuasa dan ketersediaan dana dari pemerintah.
Dalam kurikulum sekolah-sekolah dan kampus, tarian heroik ini juga belum menjadi bagian penting yang belum terpikirkan, apalagi  di tingkat implementing. Nah, kalau ini dibiarkan, kita siap saja  mengusung jenazah seudati dan jangan pernah salahkan anak negeri. Seperti dalam panton Aceh “Kon salah cangguk jiduk lam kubang, kon salah rangkang bubong katireeh, kon salah aneuk nanggroe han jitueng tarian,  salah  awak mat pemerintahan akay jih paleeh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar